Apakareba: Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, menilai Indonesia perlu membentuk badan khusus independen yang bertugas untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi implementasi kebijakan pengelolaan minyak dan gas (migas). Untuk itu, menurutnya, Indonesia membutuhkan Badan Pengelola Hulu Migas di luar pemerintah yang dilandasi peraturan perundang-undangan.
“Di masa depan perlu dipastikan kontrak kerjasama dengan KKKS dilakukan oleh badan khusus independen, bukan dengan pemerintah. Tujuannya, agar segala risiko bisnis tidak terkena kepada negara,” kata Purnomo dalam Forum Group Discusion(FGD) Tata Keloka Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagai Lokomotif Ekonomi yang Selaras dengan Kebutuhan Industri, di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat, 4 Juni 2021.
Purnomo menyebutkan negara sering kali berhadapan dengan tuntutan pengadilan di masa lalu. Hal ini dikarenakan pemerintah terlibat dalam pengelolaan kontrak. Sehingga ia mengingatkan agar pemerintah belajar dari sejarah agar bisa membangun masa depan yang lebih baik.
Ia juga menyatakan bahwa pembentukan BPMIGAS (cikal bakal SKK Migas) pada 2001 sebenarnya cukup ideal. Lantaran lembaga tersebut bersifat independent dan tidak termasuk dalam eksekutif serta bukan bagian dari BUMN yang menjalankan bisnis migas.
“Ini baik untuk semua pihak, termasuk Pertamina sebagai BUMN, terbukti ketika menjadi BUMN yang setara dengan KKKS, Pertamina berkembang dan labanya naik. BPMIGAS pun kemudian bisa mengawal industri hulu migas dengan baik, terbukti banyak proyek yang berhasil dilahirkan, misalnya Tangguh Train 1 sampai 3, juga pengembangan Lapangan Cepu yang kini memasok 30% produksi nasional,” ucapnya.
Ketika Purnomo menjabat sebagai Menteri ESDM, ia mengakui usaha melahirkan BPMIGAS bukanlah perkara sederhana karena melibatkan banyak pihak yang berkepentingan. Proses tarik-tarikan kepentingan tampak masIh terjadi ketika lembaga itu sudah lahir. Pada 2003, 2004, 2007, dan terakhir pada 2012, lembaga itu telah empat kali menghadapi judicial review.
“Yang terakhir berhasil membuat BPMIGAS dibubarkan sehingga kemudian lahir SKK Migas yang hanya didasarkan pada Kepres. Ini sebetulnya aneh karena lembaga ini sudah berjalan selama 10 tahun dan punya prestasi. Dibubarkan oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan hulu migas,” kata Purnomo.
Dekan Fakultas Hukum Undip, Retno Saraswati, pada kesempatan yang sama menyoroti langkah pemerintah yang belum juga menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 untuk membentuk badan pengelola hulu migas baru, padahal sudah berjalan 10 tahun.
“Apa yang menjadi putusan MK ini seharusnya sudah final. Oleh karena itu harus segera ditindaklanjuti karena kita butuh kepastian dan kepatuhan hukum,” kata alumni doktor hukum Universitas Diponegoro ini.
Hal yang dibutuhkan Indonesia untuk menarik investor
Untuk menarik investor hulu migas, Indonesia harus bersaing dengan Negara-negara lain di dunia. Selain harus memiliki tata kelola yang baik, syarat lain yang dibutuhkan adalah perlunya skema kontrak yang fleksible namun memiliki berkepastian hukum; serta perizinan yang sederhana agar tata kelola hulu migas tidak birokratis dan efisien.
Praktisi hukum migas, Ali Nasir mendukung pendapat Purnomo. Menurutnya masalah kepastian hukum menjadi sorotan investor karena bisnis hulu migas adalah bisnis jangka panjang. Sebelum membuat keputusan investasi, calon investor harus bisa membuat kalkulasi keekonomian suatu kegiatan atau proyek.
Oleh karena itu pihaknya berharap, rencana DPR dan pemerintah membahas UU Migas baru harus memiliki tujuan untuk menarik investor. Salah satu yang harus diperhatikan adalah sanctity of contract di segala hal, termasuk pada rezim pajak yang diterapkan (assume and discharge), sehingga investor bisa mendapat kepastian.
“Satu hal lagi, agar dipastikan perselisihan tidak masuk ke ranah pidana. Ini membuat investor ketakutan karena terkait kepastian hukum,” kata Ali
(SYI)