Ibunya Meninggal, Anggota DPRD Tasikmalaya Adukan RS Lakukan Malpraktik

Andi Ibnu Hadi, kuasa hukum Demi Hamzah. MI/Kristiadi Andi Ibnu Hadi, kuasa hukum Demi Hamzah. MI/Kristiadi

Dadali: Sebuah rumah sakit (RS) swasta yang merawat pasien covid-19 di Kota Tasikmalaya dilaporkan ke Polres Tasikmalaya Kota pada Senin, 3 Mei 2021. Pelaporan tersebut dibuat oleh anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Demi Hamzah. Pasalnya, rumah sakit itu melakukan malpraktik ketika ibu dari Hamzah, UR, dinyatakan positif covid-19 dan menjalani perawatan di RS hingga akhirnya meninggal dunia.

"Saya sebagai kuasa hukum, melaporkan kasus dugaan malpraktik dan perlindungan konsumen yang dilakukan oleh RS swasta di Kota Tasikmalaya. Berdasarkan dari keterangan kliennya, kasus itu bermula pada 6 April, ketika saudari UR merasakan gejala demam dan diketahui anak-anaknya ada kekhawatiran yang bersangkutan terpapar covid-19 hingga melapor ke Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tasikmalaya," kata, kuasa hukum pelapor, Andi Ibnu Hadi, Selasa, 4 Mei 2021, seperti dilansir dari Mediaindonesia.com.

Dari hasil laporan, Satgas Penanganan Covid-19 datang ke rumah pasien di Kecamatan Cibalong untuk melakukan rapid test antigen. Hasil sampel pun menyatakan negatif setelah diperiksa di Labkedsa Kabupaten Tasikmalaya.

Baca juga: Awas! Pemudik Nekat Masuk ke Kota Tasikmalaya Bakal Dipulangkan

"Setelah dikembalikan ke rumah, keluarga juga menerima saran dari kerabat untuk dibawa ke ahli penyakit dalam hingga pasien dibawa ke sebuah klinik kesehatan. Dokter tersebut menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit swasta. Namun, sesampainya di rumah sakit pasien langsung ditempatkan di ruang isolasi IGD sesuai arahan dokter berinisial R," paparnya.

Keesokan harinya, pihak rumah sakit memberikan keterangan lisan kepada keluarga bahwa UR dinyatakan positif covid-19. Pada 11 April 2021, akhirnya UR melakukan swab dan hasilnya tetap positif covid-19.

“Keluarga disarankan untuk membeli obat merek tertentu oleh dr R dan haga obatnya itu Rp2 juta dan tidak ada direkomendasikan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga keluarga menyetujui untuk membeli obat tersebut” jelasnya.

Kendati demikian, ternyata obat yang ingin dibeli itu sudah habis stoknya sehingga tidak jadi dibeli. Pasien UR akhirnya dinyatakan meninggal dunia pada 14 April 2021. Seminggu kemudian, pihak keluarga diinformasikan lengkap terkait diagnosis pasien.

Sementara itu, Wakil Direktur Pelayanan RS, Faid Husnan, menyebutkan pasien tersebut memang didiagnosis positif covid-19. Hal ini terlihat dari gejala yang dialaminya dan setelah pengetesan ulang, hasilnya tetap menyatakan bahwa pasien terkonfirmasi positif covid-19. 

“Hasil pemeriksaan berbeda sangat mungkin terjadi karena alat yang digunakan tersebut spesifikasinya berbeda. RS sendiri tidak merekayasa kasus covid-19. Namun, terkait harga obat tidak pernah menyarankan pasien membeli obat tersebut. Dan selama ini sudah memiliki rekomendasi dari instansi terkait dan sudah sesuai dengan standa operasional prosedur,” ujarnya.

Mengenai adanya dugaan rekayasa hasil swab, sebut Faid, sudah jelas selama ini RS mengantongi izin resmi dan terdaftar di Kemenkes. Kabkesda juga sudah terekomendasi. Sehingga tidak mungkin hal itu bisa terjadi.

Selain itu, pihak RS juga membantah adanya tagihan obat seharga Rp12 juta. Faid Husnan menjelaskan bahwa dokter hanya menyarankan untuk membeli obat tersebut untuk mengatasi peradangan dengan gejala klinis berat. 

"Semua pasien terkonfirmasi positif covid-19 untuk biaya perawatan ditanggung pemerintah. Dan RS juga tidak serta merta memberikan informasi kepada pasien karena semuanya itu harus sesuai regulasi yang ditetapkan. Untuk, hasil pemeriksaan pasien selama ini memang tidak boleh diberikan karena dikhawatirkan adanya penyalahgunaan informasi yang dapat mengganggu privacy pasien," pungkasnya. (Kristiadi)


 



(SYI)

Berita Terkait