Dadali: Beras ketan merah dan putih di sejumlah pasar tradisional langka. Kalau pun stoknya ada, harga bahan baku pembuat rengginang, uli ketan, hingga ulen atau jadah tersebut tentunya mengalami kenaikan cukup signifikan jelang Ramadan 1442 Hijriah. Akibatnya, perajin olahan makanan khas Tasikmalaya pun kebingungan.
Salah seorang perajin pengolahan makanan, Yuyun, 58, mengaku kesulitan memperoleh bahan baku beras ketan untuk dagangannya. Warga Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, itu merupakan perajin rengginan, uli ketan, ulen atau jadah, opak dan tape.
"Bahan baku berupa beras ketan putih semula harganya Rp12 ribu naik menjadi Rp14 ribu per kilogram. Untuk beras ketan merah semula dijual Rp12 ribu per kilogram menjadi Rp18 ribu per kilogram. Ini membuat perajin tak bisa melakukan pengolahan makanan, berapa mau ambil keuntungan kalau harga dinaikkan juga serba salah," kata Yuyun, Kamis, 8 April 2021, seperti dilansir dari Mediaindonesia.com.
Olahan makanan yang biasa dijadikan oleh-oleh bagi para pemudik masih dilakukan secara turun menurun oleh ibu rumah tangga (IRT) di Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu. Yuyun menyebutkan penaikan harga ketan sudah lama terjadi. Sehingga, kenaikan bahan baku tak sebanding dengan pendapatan. Apalagi, sekarang ini, beras ketan semakin susah ditemukan di sejumlah pasar tradisional.
"Harga bahan baku yang terus merangkak naik membuat para perajin olahan makanan yang dilakukan setiap kepala keluarga hanya mampu membeli beras ketan putih sekitar tiga sampai lima kilogram. Sebelumnya, bisa membeli 10 kilogram. Untuk beras ketan merah saat ini sulit dicari karena lahan pertanian banyak ditanami padi biasa," ujarnya.
Perajin makanan olahan lainnya, Soleh, 50, menjelaskan dirinya mengurangi produksi rengginangnya. Hal ini dikarenakan stok bahan baku yang semakin serat dan harganya yang semakin melambung. Kenaikan harga yang disebut cukup tinggi, tentunya dirasakan berat bagi para perajin kecil-kecilan. Apalagi, pandemi covid-19 masih melanda sampai saat ini.
"Makanan olahan kami sebelum pandemi covid-19 biasa dikirim ke berbagai wilayah seperti ke Ciamis, Bandung, Jakarta dan menyuplai ke sejumlah toko oleh-oleh termasuk pasar tradisional. Sekarang di masa pandemi kami pusing karena bahan baku jadi langka," jelasnya. (Adi Kristiadi)
(SYI)