Selain Punya Dialek Khas, Ini 5 Fakta Menarik Bahasa Cirebon, Sudah Tahu?

Salah satu objek wisata Kota Cirebon, Keraton Kasepuhan. (Foto: Cirebonkota.go.id) Salah satu objek wisata Kota Cirebon, Keraton Kasepuhan. (Foto: Cirebonkota.go.id)

Dadali: Selain terkenal dengan julukan Kota Udang, Cirebon juga memiliki ciri khas berbeda dari segi bahasa. Bahasa Cirebon menjadi salah satu identitas warga setempat, seperti yang berada di wilayah Indramayu, Pantura, dan sebagian wilayah Majalengka.

Jika terdengar sekilas, Bahasa Cirebon sedikit mirip dengan Brebes, Tegal, maupun Purwokerto. Namun yang membedakan bahasa ini adalah pola penyebutan yang tidak tebal.

Ternyata, bahasa asal Kota Udang itu memiliki sejarah dan fakta-fakta yang unik. Penasaran? Berikut lima fakta di balik Bahasa Cirebon yang jarang diketahui.

Memiliki 3 jenis dialek yang unik dan khas

Bahasa Cirebon memiliki 3 jenis dialek yang merujuk kepada wilayah penyebutan dari masyarakatnya. Dialek yang pertama adalah dialek Jawareh atau Jawa Sawareh.

Penggunaan Bahasa Cirebon dalam dialek ini lazim digunakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Brebes, atau sekitar Perbatasan Kabupaten Majalengka dan Kuningan. Dialek Jawareh ini merupakan gabungan dari separuh Bahasa Jawa dan separuh Bahasa Sunda.

Lalu yang kedua adalah dialek Arjawinangun. Dialek tersebut biasanya dituturkan oleh masyarakat Cirebon di daerah sekitar Desa Arjawinangun, Cirebon.

Dialek ini cenderung masih asli dan tidak terpengaruh bahasa lain. Meskipun, tidak bisa dikategorikan sebagai bahasa Cirebon yang baku. Dialek ini juga merupakan dialek yang paling banyak digunakan oleh masyarakat di Kota Cirebon.

Menyelamatkan warga Cirebon saat DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)

Merangkum dari berbagai sumber, Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer menjelaskan, pada masa pemberontakan DI/TII di Jawa Barat 1962 hingga 1970 terdapat anggota DI TII yang berasal dari Cirebon, Jawa Barat.

Anggota DI/TII tersebut menggunakan dialek Cirebon sehari-hari untuk membedakan antara anggota DI/TII dengan masyarakat Cirebon yang tidak terlibat pemberontakan.

Akhirnya salah seorang tokoh Cirebon membuat inisiatif dengan menggunakan bahasa Cirebon Bebasan dan disebarluaskan kepada masyarakat Cirebon agar tidak ada salah paham.

Pernah berafiliasi dengan Bahasa Sunda

Nurdin juga menjelaskan, di tahun yang sama, sekitar 1960-an, Bahasa Cirebon masih terpengaruh oleh Bahasa Sunda dan sedikit pengaruh Bebasan Cirebon.

Nurdin mencontohkan, seperti halnya kata "Pisan" yang familiar di Bahasa Cirebon, dan ternyata diadopsi dari Sunda yang artinya "Banget". Di mana kata tersebut menjelaskan tentang suatu keadaan yang dialami.

Pernah menjadi tren bahasa slang

Masih di tahun 1960-an, di mana saat itu untuk mengelabui pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Bahasa Cirebon juga dijadikan bahasa yang dibolak-balik pengucapannya. Tren pembolak-balikan kata juga terjadi di masyarakat Malang.

"Kata Kuham misalnya, yang mengambil dari Bahasa Sunda berarti "Kumaha" (bagaimana), selain itu Ris atau dari kata Sira (kamu), kemudian Yas dari kata Saya, lalu Daus atau dari kata Adus (mandi) hingga Pung dari kata polisi," kata Nurdin, seperti dilansir dari berbagai sumber, Jumat, 8 Oktober 2021.

Memiliki identitas sebagai bahasa yang mandiri

Semenjak DI/TII berakhir, Bahasa Cirebon mulai menemukan jati dirinya sebagai bahasa yang mandiri dan diadopsi dari bahasa leluhur yaitu Bebasan. Hingga saat ini Bahasa Cirebon tidak terpengaruh Bahasa Sunda maupun Jawa. (Raissa Oktaviani)



(RAO)

Berita Terkait